Sabtu, 14 Januari 2012

PUPUH SINOM

Pupuh Sinom

(Pepeling)
Harta pada nareangan
Harti pada nyararungsi
Sabab duanana guna
Harti bisa mere bukti
Harta pon kitu deui
Bisa ngabul nu dimaksud
Nedunan sakahayang
Tapi harta gampang leungit
Mungguh harti manfaat dunya aherat




Kasawang ti kaanggangan
Paul ngalamuk ngadingding
Beulah kaler katingali
Ciciren kota Ciamis
Nu nelah Kota Manis
Titinggal para luluhur
Setra asih tur endah
Matak lucu nu ningali
Puseur Galuh atra natrat
Na Sajarah


Kidung
Diantara gunung-gunung
Cai nyurug kana leuwi
Nebarkeun ka `endah rasa
Haying nenjo herang-na cai
Sausap dampal panangan
Teras wawasuh kana pameunteu
Nu alim di jadi-jadi
Pameunteu cahayaan deui
Lain tina ayana cai
Tapi siloka ku sucina cai
Kalayan ngajadi ku kersaning ILLAHI
Nyata jeung saenyana
Nu ngandung ningali abdi
Dugika nyiramkeun rasa
Kawenehan ku wajah abdi
Pameunteu pinuh cahaya
Cahaya ku kersaning ALLOH.
TULUS ADALAH BAHASA YANG BISA
DILIHAT OLEH ORANG BUTA DAN DI DENGAR OLEH ORANG TULI

Ketika Bung Karno membangkitkan semangat rakyat Indonesia dan ribuan Prajuritnya, Barisan Keamanan Rakyat bersama para Pelajar bahu-membahu menyiapkan logistik bagi Perang gerilya melawan kolonialis Belanda di Tanah Air kita, biaya Pemerintahan Republik pada waktu itu sangat minim sekali, sehingga tidak memungkinkan Perang Frontal melawan Penjajah. Mengingat keterbatasan Amunisi dan Persenjataan. Kontribusi semangat rakyat khususnya para Petani dan Nelayan yang tinggal di pelosok-pelosok desa terhadap Perjuangan melawan Penjajah sangat luar biasa. Selain itu mereka menyumbangkan beras, ternak sapi, kambing, ayam, bebek, telur dan sayur mayur juga buah-buahan serta membangun dapur-dapur umum bagi Tentara Rakyat, juga menyerahkan harta bendanya demi Perjuangan. Lahir bathin mereka seolah merasa terganggu, dan puluhan bahkan ratusan ribu ibu-ibu rumah tangga Petani dan Nelayan pada waktu itu praktis rumah tangganya terbengkalai, tidak bisa mengurus urusan mereka sendiri karena aktif di dapur-dapur umum.
Dimasa Perjuangan waktu itu rakyat petani dan nelayan sama sekali tidak ada dalam benak mereka untuk meminta imbalan terhadap pengorbanan yang telah mereka berikan, hanya kita sebagai generasi penerus harus memperjuangkan dan mau membantu kehidupan para petani dan nelayan yang sampai sekarang masih hidup dibawah garis kemiskinan, artinya disini di butuhkan kearifan,hikmah kebijaksanaan,intelegensia tinggi yang sama sekali tidak mengusung pihak-pihak tertentu yang dapat merugikan kepentingan rakyat mayoritas, untuk hal ini kita harus memulai menghimpun orang-orang yang memiliki dedikasi tinggi terhadap Bangsa dan Negara untuk di didik luar dalam, dalam pengertian lahir bathinya untuk dapat diajak bersama-sama menyelsaikan Krisis Multi dimensi dengan langkah-langkah konkrit yang menyeluruh dan tidak setengah-setengah, kita pun menyadari untuk mewujudkanya dibutuhkan keberanian, kejujuran, dengan prinsif yang diambil bahwa landasan Perjuangan adalah arahnya, mempertahankan Merah Putih, Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila sebagai falsafah Negara. Syarat arahnya pun harus dapat mencapai masyarakat mayoritas Bangsa Indonesia Sejahtera. Dalam menghadapi krisis di negeri ini , bukan tidak percaya kepada wakil-wakil kita yang duduk di DPR, tetapi pada kenyataanya.
Menurut mendiang Rosihan Anwar para anggota Dewan adalah Pemburu Harta dan pelaku pemborosan di segala Sektor yang menghabiskan Sumber Daya Alam dan itu semua hanya untuk melestarikan kekuasaan dan kekayaan segelintir orang saja, kalau kita ingat pada masa perjuangan pendahulu-pendahulu kita melawan penjajah, mereka mengangkat senjata demi kemerdekaan dan kedaulatan bangsa dan Negara Indonesia dengan tidak mengeluhkan soal Gaji, Upah, Pangkat dan Jabatan, tetapi sekarang setelah Indonesia merdeka di era reformasi ini para Birokrat,Polisi,Milter,Kaum Pangkat dan Gaji, mereka senantiasa menuntut Hak-haknya dan melupakan Kewajiban-kewajibanya mereka sudah tidak mengenal sifat-sifat musuh bangsa,sehinggga kedaulatan bangsa dan negara kita hilang harga diri, Jatidiri Bangsa Negri inipun tengelam ke dalam tanah Ibu Pertiwi , “Rame Ing Pamrih Sepi Ing Gawe” terjadi hampir di semua sektor segmen social akibat orientasi perjuangannya sebatas kepentingan pribadi dan kelompoknya (Primordial Sempit) Budi Pekerti, Tatakarma, Tata Susila dalam kehidupan masyarakat menghilang.
Hal-hal yang dahulu dianggap tidak wajar (Tabu) kini dianggap hal yang biasa-biasa saja. Maknanya mereka bercermin pada dirinya dan nilai-nilai kebenaran, bisa dikatakan sudah langka. Artinya di era reformasi ini susah didapat..
Korupsi dalam batang tubuh birokrat dan masyarakat telah menjadi hal yang biasa dan dianggap aneh kalau tidak korupsi. Begitu pula “korupsi berjamaah” telah menjadi bagian dari budaya bangsa kita. Kenyataan lain yang setiap hari kita saksikan, baik melalui siaran radio, televisi dan media cetak sesama manusia saling baku hanntam, pejabat saling menghujat, lempar-lemparan batu, saling membunuh dan menyaksikan sambil tertawa seperti pembakaran rumah-rumah kelompok Ahmadiyah, Masjid dan Gereja, tawuran antar sekolah, antara satpol PP dengan masyarakat, ini adalah suatu bukti bahwa Bangsa Indonesia telah kehilangan rasa kemanusian-nya.



































Birokrasi ohh birokrasi
Bagai ilusi tanpa solusi
Seperti tabir transparansi
Bagai kata-kata puisi tak bertaji
Seperti politisi berambisi diamputasi
Ketika” LSM kehilangan arah juangnya
Pembangunan karakter Negeri ikut tergerus
Dalam Reformasi. Wartawan..Hartawan..
Karyawan tak lagi berkawan..
Reformasi bermuatan emosi menjadikan
Korupsi sebagai solusi, dibutuhkan
Figur Pimpinan yang bijak
Bertangan besi
Melihat perang aku resah
Menyaksikan bencana aku gundah
Mendengar gunung digusur aku gelisah
Mengetahui sawah-sawah t’lah musnah ..
Aku marah………………………
Rasa gerah membawa amarah
Lelah membuatku ingin muntah
Haruskah kutumpahkan Darah..?
Untuk memerangi “LINTAH”
Demi mencegah kerusakan alam…
Yang kian parah…
LAUTAN begitu luas
Ombak tiada henti menjilati pantai
Kubiarkan angin memainkan rambutku
Kuhempaskan angan yang lama
Bersemayam di dada
Lalu ku temukan sunyi di tengah
Gemuruh gelombang
Wahai sang sepi terimalah salam hormatku
Biarkan ku berjalan tanpa tangis
Tanpa tawa
Pancaroba t’lah berubah
Bumi yang indah merekah
Kini lekang dan terbelah-belah
Karena gunung-gunung t;lah rebah
Hutan gundul habis di jarah
Sungai mendangkal tercemar limbah
Sehingga sang lautan marah
Wahai jiwa-jiwa yang bijak
Bangunlah dari tidurmu yang lelap
Bangkitlah dari ketidak berdayaan
Apakah tak kau dengar teriakanya
Menyerukan Revolusi melawan ideologi

Teknologi dan ekonomi asing,mana jatidirimu?
Ataukah kau menghendakinya murka?
Saat mendengar rintihan Ibu Pertiwi.

budaya

"Budaya Sunda Dipopohokeun, Salah Kaprah"

SENI budaya dan sejarah Sunda yang merupakan peninggalan tatali karuhun lambat laun akan pudar jika generasi penerusnya yang dilahirkan di Tatar Sunda (Pasundan) Jawa Barat ini tidak peduli dan ngamumule warisan para leluhurnya. Padahal yang namanya ngamumule warisan budaya leluhur adalah kewajiban urang Sunda.

Jika urang Sunda sudah mulai melupakan sejarah, apalagi berusaha menyingkirkannya, niscaya hidupnya akan salah kaprah. Sebab yang namanya urang Sunda kental dengan etika. "Mopohokeun budaya jeung sajarah, bakal salah kaprah, gagabah anu akhirna timbul mamala kana dirina".

Demikian dikatakan Sultan Sela Cau Tasikmalaya, Rohidin (31) di sela-sela "Ngaguar Budaya Sunda" di Sanggar Budaya Sunda, Jatinangor, belum lama ini. Rohidin yang asli Kp. Nagara Tengah, Desa Cibungur, Kec. Parungponteng, Kab. Tasikmalaya mengatakan hal ini mengingat saat ini dirinya prihatin karena banyak urang Sunda yang telah melupakan budaya dan sejarah Sunda.

Menurut Rohidin, adanya ancaman kepunahan terhadap seni dan budaya Sunda itu, setelah semakin derasnya budaya Barat masuk ke Indonesia, khususnya di Jabar. Bahkan ia menilai budaya Barat itu, lebih kuat dan cepat mengakar. Ancaman kepunahan pun bisa dilihat dari tatakrama generasi muda jaman kiwari yang sudah banyak mopohokeun sajarah tatali karuhun sebagai pewaris urang Sunda.

Sementara orang Sunda yang sudah melupakan sejarah para leluhur, sama dengan tidak menghargai sejarah. Tapi sampai saat ini, kata Rohidin masih ada orang Sunda yang setia untuk ngamumule budaya dan sejarah Sunda tersebut. "Kami berharap yang namanya urang Sunda kudu mikancinta kana budaya jeung sajarah Sunda," harap Sultan yang merupakan keturunan VIII Kesultanan Sela Cau Tasikmalaya ini.

Sultan juga berharap, kehidupan urang Sunda benar-benar bisa bangkit dan maju. Tidak lagi urang Sunda yang melupakan bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-hari. Saat ini, ia menduga orang yang bicara dengan bahasa Sunda sudah mulai berkurang. "Sudah mulai berkurang, orang yang micinta basa Sunda. Karena itu, kami sebagai keturunan urang Sunda akan berusaha melestarikan sejarah Sunda. Termasuk untuk ngamumule bahasa Sunda," katanya.

Untuk itu, ia berusaha terus menyosialisasikan dan menyebarkan budaya Sunda di Jabar. Bahkan ia berharap, untuk meningkatkan kebangkitan urang Sunda itu, ada sebutan Daerah Istimewa Sela Cau Tasikmalaya. Seperti sebutan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Aceh.

Ia juga menilai, di wilayah Tatar Sunda dari mulai Ujung Kulon Banten hingga Cirebon dan Banjar, terdapat belasan kerajaan atau kesultanan. Keberadaannya harus terus dibangkitkan, dimumule, dan dilestarikan para penerusnya. Belasan kerajaan dan kesultanan di Tatar Sunda itu, di antaranya Kesultanan Sela Cau, Galuh Pakuan, Galuh Agung, Galuh Kawali, Banten, Pakuan, Pajajaran, Sumedang Larang, Kanoman, dan Cirebon. (engkos kosasih/"GM")**
DI sebuah tempat di Jatinangor, Kabupaten Sumedang, belum lama ini, sejumlah orang berkumpul dalam suatu acara. Rupanya, mereka diundang oleh penguasa .
Dikutip dari Tulisan Aan Merdeka Permana pada situs web Kesultanan sela cau.
22 Jan 2011
Di sebuah tempat di Jatinangor, Kabupaten Sumedang, belum lama ini, sejumlah orang berkumpul dalam suatu acara. Rupanya, mereka diundang oleh "penguasa" Kesultanan Selacau bernama Sultan Raden Rohidin Patrakusumah Vin. Sang sultan yang dimaksud masih sangat muda, baru berusia 31 tahun. Sepulang dari Bandung, sang sultan mengaku ingin berbincang dengan beberapa kalangan mengenai dirinya.
Kesultanan Selacau? Nama ini tentu saja asing di telinga siapa pun, tak terkecuali para pengamat sejarah. Nama kesultanan ini memang tak secuil pun dibahas di berbagai catatan lokal Tasikmalaya, tidak pula Jawa Barat. Beberapa waktu silam, TVRI Jabar-Banten memang pernah menayangkan liputan mengenai Kesultanan Selacau, tetapi mungkin lolos dari pengamatan banyak orang. Lagi pula, dalam tayangan televisi "pelat merah" itu, informasi mengenai Kesultanan Selacau tidak dibahas secara lengkap.
Ketika bertemu dengan sang sultan muda belia itu, penjelasan agak lebih terang benderang. "Saya juga heran, mengapa Kesultanan Selacau oleh pemerintah sendiri tidak pernah diungkapkan kepada khalayak," tutur Sultan Rohidin.
Kesultanan Selacau berdiri pada 1549 dengan penguasanya bernama Sultan Patrakusumah. Pusat keratonnya berada di Kampung Nagaratengah, Kabupaten Tasikmalaya, sebuah bangunan keraton berupa bangunan kayu seluas 1.500 meter persegi. Keraton itu kini tak lagi ada karena dibumihanguskan oleh Belanda, empat puluh tahun kemudian (1589). Belanda benci karena Kesultanan Selacau tidak mau bersekutu, bahkan sebaliknya selalu berupaya mengusir Belanda dari Selacau. "Ini yang menyakitkan-hati saya sebagai keturunan Sultan Sembah Dalem Patrakusumah. Kesultanan Selacau tidak pernah ber-khianat terhadap bangsa. Namun, pemerintah tak pernah menghormati kami dengan cara mencoba merawatnya," kata Sultan Rohidin.

Menurut dia, keberadaan Kesultanan Selacau sudah diakui oleh organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organlzation;UNESCO) karena terdapat dokumen resmi di Leiden, Belanda. "Namun, ketika kami melapor, pemerintah malah minta bukti autentik," kata Sultan.
Dokumen Kesultanan Selacau kini sudah menjadi milik sah Pemerintah Belanda. Soalnya, berdasarkan peraturan yang berlaku di negara itu, dokumen atau kekayaan apa pun, bila selama empat puluh tahun tidak diambil oleh ahli warisnya, akan menjadi milik Belanda. "Sudah 140 tahun lebih dokumen Kesultanan Selacau berada di Leiden. Bila diperjuangkan mau diambil, harus melalui pengadilan di sana dan kami kerepotan untuk mengurusnya," tutur Sultan Rohidin.
Setelah kehancuran Pajajaran
Kesultanan Selacau berdiri seiring dengan hancurnya Kerajaan Pajajaran. Berdasarkan catatan keluarga Selacau, sesudah Pajajaranhancur, secara berturut-turut, berdiri wilayah kekuasaan baru. Wilayah Sundakalapa dikuasai oleh Perserikatan Perusahaan Hindia Timur (Vereenigde Oostindische Compag-nie;VOC) dan wilayah Banten dikuasai oleh Kesultanan Banten. Wilayah Kuningan, Cirebon, dan Indramayu dikuasai oleh Kesultanan Cirebon, sedangkan wilayah timur Sungai Citarum hingga wilayah selatan Jabar dikuasai oleh Kesultanan Selacau. "Batas pantai mulai dari Pangandaran di timur hingga Cipatujah, Cilauteureun, Rancabuaya Cicau, Cianjur Selatan adalah wilayah pantai Kesultanan Selacau," ujar Sultan Rohidin.
Pada abad ke-16 itu, menurut Sultan, bentuk pemerintahan Kesultanan Selacau sudah modern. Dulu, pada zaman kerajaan, semua keputusan negara bergantung kepada raja. Di era Kesultanan Selacau sudah ada pembagian kekuasaan. Terdapat semacam Dewan Pertimbangan Agung yang pusat kegiatannya di Taraju. Ada pula Mahkamah Agung, pusat kegiatannya di Sancang. Selain itu, Kesultanan Selacau pun memiliki pejabat kejaksaan yang disebut Dalem Pangudar. Sementara, perwakilan kekuasaan di daerah diserahkan kepada para adipati. "Raden Sacataruna menjadi adipati di wilayah utara, bertempat di Cipaingeun, Sodonghilir. Sementara adipati wilayah selatan adalah kakek moyang Gubernur Sewaka, bertempat di Culamega. Adipatidi wilayah barat bernama Syeh Abdul Pa-ngeling, sedangkan wilayah timur diberikan kepada adipati Suryaningrat, berkantor di Genggelang, Parungbonteng," tutur salah seorang pembantu Sultan.
Bukti-bukti fisik akan keberadaan wilayah kesultanan memang sudah sulit ditemukan, kecuali beberapa artefak kuno, semisal makam Sultan Sembah. Dalem Patrakusumah. Di beberapa gua, terdapat pula tulisan-tulisan yang disusun dari huruf Sunda kuno. Menurut para pembantu Sultan Rohidin, isinya adalah paparan sejarah mengenai keberadaan Selacau. Di wilayah Batugede juga didapat prasasti, semacam peringatan atas perjuangan pasukan Kesultanan Selacau tatkala melawan VOC. "Cimukeya, yaitu pemandian raja di Situhiang, masih ada bekas-bekasnya walaupun samar, begitu pun bekas alun-alun kesultanan," tutur mereka. "Kami butuh pengakuan. Jangan biarkan sejarah masa lalu Sunda tenggelam dan tak diketahui anak cucu". (Aan Merdeka Permana)***

sultan patrakusumah