Sabtu, 14 Januari 2012

budaya

"Budaya Sunda Dipopohokeun, Salah Kaprah"

SENI budaya dan sejarah Sunda yang merupakan peninggalan tatali karuhun lambat laun akan pudar jika generasi penerusnya yang dilahirkan di Tatar Sunda (Pasundan) Jawa Barat ini tidak peduli dan ngamumule warisan para leluhurnya. Padahal yang namanya ngamumule warisan budaya leluhur adalah kewajiban urang Sunda.

Jika urang Sunda sudah mulai melupakan sejarah, apalagi berusaha menyingkirkannya, niscaya hidupnya akan salah kaprah. Sebab yang namanya urang Sunda kental dengan etika. "Mopohokeun budaya jeung sajarah, bakal salah kaprah, gagabah anu akhirna timbul mamala kana dirina".

Demikian dikatakan Sultan Sela Cau Tasikmalaya, Rohidin (31) di sela-sela "Ngaguar Budaya Sunda" di Sanggar Budaya Sunda, Jatinangor, belum lama ini. Rohidin yang asli Kp. Nagara Tengah, Desa Cibungur, Kec. Parungponteng, Kab. Tasikmalaya mengatakan hal ini mengingat saat ini dirinya prihatin karena banyak urang Sunda yang telah melupakan budaya dan sejarah Sunda.

Menurut Rohidin, adanya ancaman kepunahan terhadap seni dan budaya Sunda itu, setelah semakin derasnya budaya Barat masuk ke Indonesia, khususnya di Jabar. Bahkan ia menilai budaya Barat itu, lebih kuat dan cepat mengakar. Ancaman kepunahan pun bisa dilihat dari tatakrama generasi muda jaman kiwari yang sudah banyak mopohokeun sajarah tatali karuhun sebagai pewaris urang Sunda.

Sementara orang Sunda yang sudah melupakan sejarah para leluhur, sama dengan tidak menghargai sejarah. Tapi sampai saat ini, kata Rohidin masih ada orang Sunda yang setia untuk ngamumule budaya dan sejarah Sunda tersebut. "Kami berharap yang namanya urang Sunda kudu mikancinta kana budaya jeung sajarah Sunda," harap Sultan yang merupakan keturunan VIII Kesultanan Sela Cau Tasikmalaya ini.

Sultan juga berharap, kehidupan urang Sunda benar-benar bisa bangkit dan maju. Tidak lagi urang Sunda yang melupakan bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-hari. Saat ini, ia menduga orang yang bicara dengan bahasa Sunda sudah mulai berkurang. "Sudah mulai berkurang, orang yang micinta basa Sunda. Karena itu, kami sebagai keturunan urang Sunda akan berusaha melestarikan sejarah Sunda. Termasuk untuk ngamumule bahasa Sunda," katanya.

Untuk itu, ia berusaha terus menyosialisasikan dan menyebarkan budaya Sunda di Jabar. Bahkan ia berharap, untuk meningkatkan kebangkitan urang Sunda itu, ada sebutan Daerah Istimewa Sela Cau Tasikmalaya. Seperti sebutan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Aceh.

Ia juga menilai, di wilayah Tatar Sunda dari mulai Ujung Kulon Banten hingga Cirebon dan Banjar, terdapat belasan kerajaan atau kesultanan. Keberadaannya harus terus dibangkitkan, dimumule, dan dilestarikan para penerusnya. Belasan kerajaan dan kesultanan di Tatar Sunda itu, di antaranya Kesultanan Sela Cau, Galuh Pakuan, Galuh Agung, Galuh Kawali, Banten, Pakuan, Pajajaran, Sumedang Larang, Kanoman, dan Cirebon. (engkos kosasih/"GM")**
DI sebuah tempat di Jatinangor, Kabupaten Sumedang, belum lama ini, sejumlah orang berkumpul dalam suatu acara. Rupanya, mereka diundang oleh penguasa .
Dikutip dari Tulisan Aan Merdeka Permana pada situs web Kesultanan sela cau.
22 Jan 2011
Di sebuah tempat di Jatinangor, Kabupaten Sumedang, belum lama ini, sejumlah orang berkumpul dalam suatu acara. Rupanya, mereka diundang oleh "penguasa" Kesultanan Selacau bernama Sultan Raden Rohidin Patrakusumah Vin. Sang sultan yang dimaksud masih sangat muda, baru berusia 31 tahun. Sepulang dari Bandung, sang sultan mengaku ingin berbincang dengan beberapa kalangan mengenai dirinya.
Kesultanan Selacau? Nama ini tentu saja asing di telinga siapa pun, tak terkecuali para pengamat sejarah. Nama kesultanan ini memang tak secuil pun dibahas di berbagai catatan lokal Tasikmalaya, tidak pula Jawa Barat. Beberapa waktu silam, TVRI Jabar-Banten memang pernah menayangkan liputan mengenai Kesultanan Selacau, tetapi mungkin lolos dari pengamatan banyak orang. Lagi pula, dalam tayangan televisi "pelat merah" itu, informasi mengenai Kesultanan Selacau tidak dibahas secara lengkap.
Ketika bertemu dengan sang sultan muda belia itu, penjelasan agak lebih terang benderang. "Saya juga heran, mengapa Kesultanan Selacau oleh pemerintah sendiri tidak pernah diungkapkan kepada khalayak," tutur Sultan Rohidin.
Kesultanan Selacau berdiri pada 1549 dengan penguasanya bernama Sultan Patrakusumah. Pusat keratonnya berada di Kampung Nagaratengah, Kabupaten Tasikmalaya, sebuah bangunan keraton berupa bangunan kayu seluas 1.500 meter persegi. Keraton itu kini tak lagi ada karena dibumihanguskan oleh Belanda, empat puluh tahun kemudian (1589). Belanda benci karena Kesultanan Selacau tidak mau bersekutu, bahkan sebaliknya selalu berupaya mengusir Belanda dari Selacau. "Ini yang menyakitkan-hati saya sebagai keturunan Sultan Sembah Dalem Patrakusumah. Kesultanan Selacau tidak pernah ber-khianat terhadap bangsa. Namun, pemerintah tak pernah menghormati kami dengan cara mencoba merawatnya," kata Sultan Rohidin.

Menurut dia, keberadaan Kesultanan Selacau sudah diakui oleh organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organlzation;UNESCO) karena terdapat dokumen resmi di Leiden, Belanda. "Namun, ketika kami melapor, pemerintah malah minta bukti autentik," kata Sultan.
Dokumen Kesultanan Selacau kini sudah menjadi milik sah Pemerintah Belanda. Soalnya, berdasarkan peraturan yang berlaku di negara itu, dokumen atau kekayaan apa pun, bila selama empat puluh tahun tidak diambil oleh ahli warisnya, akan menjadi milik Belanda. "Sudah 140 tahun lebih dokumen Kesultanan Selacau berada di Leiden. Bila diperjuangkan mau diambil, harus melalui pengadilan di sana dan kami kerepotan untuk mengurusnya," tutur Sultan Rohidin.
Setelah kehancuran Pajajaran
Kesultanan Selacau berdiri seiring dengan hancurnya Kerajaan Pajajaran. Berdasarkan catatan keluarga Selacau, sesudah Pajajaranhancur, secara berturut-turut, berdiri wilayah kekuasaan baru. Wilayah Sundakalapa dikuasai oleh Perserikatan Perusahaan Hindia Timur (Vereenigde Oostindische Compag-nie;VOC) dan wilayah Banten dikuasai oleh Kesultanan Banten. Wilayah Kuningan, Cirebon, dan Indramayu dikuasai oleh Kesultanan Cirebon, sedangkan wilayah timur Sungai Citarum hingga wilayah selatan Jabar dikuasai oleh Kesultanan Selacau. "Batas pantai mulai dari Pangandaran di timur hingga Cipatujah, Cilauteureun, Rancabuaya Cicau, Cianjur Selatan adalah wilayah pantai Kesultanan Selacau," ujar Sultan Rohidin.
Pada abad ke-16 itu, menurut Sultan, bentuk pemerintahan Kesultanan Selacau sudah modern. Dulu, pada zaman kerajaan, semua keputusan negara bergantung kepada raja. Di era Kesultanan Selacau sudah ada pembagian kekuasaan. Terdapat semacam Dewan Pertimbangan Agung yang pusat kegiatannya di Taraju. Ada pula Mahkamah Agung, pusat kegiatannya di Sancang. Selain itu, Kesultanan Selacau pun memiliki pejabat kejaksaan yang disebut Dalem Pangudar. Sementara, perwakilan kekuasaan di daerah diserahkan kepada para adipati. "Raden Sacataruna menjadi adipati di wilayah utara, bertempat di Cipaingeun, Sodonghilir. Sementara adipati wilayah selatan adalah kakek moyang Gubernur Sewaka, bertempat di Culamega. Adipatidi wilayah barat bernama Syeh Abdul Pa-ngeling, sedangkan wilayah timur diberikan kepada adipati Suryaningrat, berkantor di Genggelang, Parungbonteng," tutur salah seorang pembantu Sultan.
Bukti-bukti fisik akan keberadaan wilayah kesultanan memang sudah sulit ditemukan, kecuali beberapa artefak kuno, semisal makam Sultan Sembah. Dalem Patrakusumah. Di beberapa gua, terdapat pula tulisan-tulisan yang disusun dari huruf Sunda kuno. Menurut para pembantu Sultan Rohidin, isinya adalah paparan sejarah mengenai keberadaan Selacau. Di wilayah Batugede juga didapat prasasti, semacam peringatan atas perjuangan pasukan Kesultanan Selacau tatkala melawan VOC. "Cimukeya, yaitu pemandian raja di Situhiang, masih ada bekas-bekasnya walaupun samar, begitu pun bekas alun-alun kesultanan," tutur mereka. "Kami butuh pengakuan. Jangan biarkan sejarah masa lalu Sunda tenggelam dan tak diketahui anak cucu". (Aan Merdeka Permana)***

1 komentar:

  1. ketika manusia sudah lupa akan budayanya maka lupa lah dia terhadap jati diri yang sesungguhnya.
    padahal budaya adalah simbol kekuatan suatu bangsa yang akan terukur dan akan hancur ketika mereka-mereka lupa akan budayanya.maka tunggulah kehancuranya.by johan sallu

    BalasHapus